Korupsi di Indonesia sudah ‘membudaya’
sejak dulu, sebelum dan sesudah kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde
Baru, berlanjut hingga era Reformasi. Berbagai upaya telah dilakukan
untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh panggang dari api.
Sejarawan di Indonesia umumnya kurang tertarik memfokuskan kajiannya pada sejarah ekonomi, khususnya seputar korupsi yang berkaitan dengan kekuasaan yang dilakukan oleh para bangsawan kerajaan, kesultanan, pegawai Belanda (Amtenaren dan Binenland Bestuur) maupun pemerintah Hindia Belanda sendiri. Sejarawan lebih tertarik pada pengkajian sejarah politik dan sosial, padahal dampak yang ditimbulkan dari aspek sejarah ekonomi itu, khususnya dalam “budaya korupsi” yang sudah mendarah daging mampu mempengaruhi bahkan merubah peta perpolitikan, baik dalam skala lokal yaitu lingkup kerajaan yang bersangkutan maupun skala besar yaitu sistem dan pola pemerintahan di Nusantara ini. Sistem dan pola itu dengan kuat mengajarkan “perilaku curang, culas, uncivilian, amoral, oportunis dan lain-lain” dan banyak menimbulkan tragedi yang teramat dahsyat.
- Era Sebelum Indonesia Merdeka
Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah
diwarnai oleh “budaya-tradisi korupsi” yang tiada henti karena didorong
oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Kita dapat menyirnak
bagaimana tradisi korupsi berjalin berkelin dan dengan perebutan
kekusaan di Kerajaan Singosari (sampai tujuh keturunan saling membalas
dendam berebut kekusaan: Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa
Wongateleng dan seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi,
Suro dan lain-lain), Demak (Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang),
Banten (Sultan Haji merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng
Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap Belanda dan seterusnya sampai
terjadfnya beberapa kali peralihan kekuasaan di Nusantara telah
mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan di Indonesia.
Umumnya para Sejarawan Indonesia belum
mengkaji sebab ekonomi mengapa mereka saling berebut kekuasaan. Secara
politik memang telah lebih luas dibahas, namun motif ekonomi –
memperkaya pribadi dan keluarga diantara kaum bangsawan – belum nampak
di permukaan “Wajah Sejarah Indonesia”.
Sebenarnya kehancuran kerajaan-kerajaan
besar (Sriwijaya, Majapahit dan Mataram) adalah karena perilaku korup
dari sebagian besar para bangsawannya. Sriwijaya diketahui berakhir
karena tidak adanya pengganti atau penerus kerajaan sepeninggal
Bala-putra Dewa. Majapahit diketahui hancur karena adanya perang
saudara (perang paregreg) sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Sedangkan
Mataram lemah dan semakin tidak punya gigi karena dipecah belah dan
dipreteli gigi taringnya oleh Belanda.
Pada tahun 1755 dengan Perjanjian Giyanti,
VOC rnemecah Mataram menjadi dua kekuasaan yaitu Kesultanan Yogyakarta
dan Kasunanan Surakarta. Kemudian tahun 1757/1758 VOC memecah
Kasunanan Surakarta menjadi dua daerah kekuasaan yaitu Kasunanan
Surakarta dan Mangkunegaran. Baru pada beberapa tahun kemudian
Kasultanan Yogyakarta juga dibagi dua menjadi Kasultanan Yogyakarta dan
Pakualaman.
Benar bahwa penyebab pecah dan lemahnya
Mataram lebih dikenal karena faktor intervensi dari luar, yaitu campur
tangan VOC di lingkungan Kerajaan Mataram. Namun apakah sudah adayang
meneliti bahwa penyebab utama mudahnya bangsa asing (Belanda) mampu
menjajah Indonesia sekitar 350 tahun (versi Sejarah Nasional?), lebih
karena perilaku elit bangsawan yang korup, lebih suka memperkaya
pribadi dan keluarga, kurang mengutamakan aspek pendidikan moral,
kurang memperhatikan “character building”, mengabaikan hukum apalagi
demokrasi Terlebih lagi sebagian besar penduduk di Nusantara tergolong
miskin, mudah dihasut provokasi atau mudah termakan isu dan yang lebih
parah mudah diadu domba.
Belanda memahami betul akar “budaya korup”
yang tumbuh subur pada bangsa Indonesia, maka melalui politik “Devide
et Impera” mereka dengan mudah menaklukkan Nusantara! Namun,
bagaimanapun juga Sejarah Nusantara dengan adanya intervensi dan
penetrasi Barat, rupanya tidak jauh lebih parah dan penuh tindak
kecurangan, perebutan kekuasaan yang tiada berakhir, serta
“berintegrasi’ seperti sekarang. Gelaja korupsi dan penyimpangan
kekusaan pada waktu itu masih didominasi oleh kalangan bangsawan, sultan
dan raja, sedangkan rakyat kecil nyaris “belum mengenal” atau belum
memahaminya.
Perilaku “korup” bukan hanya didominasi
oleh masyarakat Nusantara saja, rupanya orang-orang Portugis, Spanyol
dan Belanda pun gemar “mengkorup” harta-harta Korpsnya, institusi atau
pemerintahannya. Kita pun tahu kalau penyebab hancur dan runtuhnya VOC
juga karena korupsi. Lebih dari 200 orang pengumpul Liverantie dan
Contingenten di Batavia kedapatan korup dan dipulangkan ke negeri
Belanda. Lebih dari ratusan bahkan kalau diperkirakan termasuk yang
belum diketahui oleh pimpinan Belanda hampir mencapai ribuan orang
Belanda juga gemar korup.
Dalam buku History of Java karya Thomas
Stanford Raffles (Gubernur Jenderal Inggris yang memerintah Pulau Jawa
tahun 1811-1816), terbit pertama tahun 1816 mendapat sambutan yang “luar
biasa” baik di kalangan bangsawan lokal atau pribumi Jawa maupun
bangsa Barat. Buku tersebut sangat luas memaparkan aspek budaya
meliputi situasi geografi, nama-nama daerah, pelabuhan, gunung, sungai,
danau, iklim, kandungan mineral, flora dan fauna, karakter dan
komposisi penduduk, pengaruh budaya asing dan lain-lain.
Hal menarik dalam buku itu adalah
pembahasan seputar karakter penduduk Jawa. Penduduk Jawa digambarkan
sangat “nrimo” atau pasrah terhadap keadaan. Namun, di pihak lain,
mempunyai keinginan untuk lebih dihargai oleh orang lain. Tidak terus
terang, suka menyembunyikan persoalan, dan termasuk mengambil sesuatu
keuntungan atau kesempatan di kala orang lain tidak mengetahui.
Hal rnenarik lainnya adalah adanya
bangsawan yang gemar menumpuk harta, memelihara sanak (abdi dalem) yang
pada umumnya abdi dalem lebih suka mendapat atau mencari perhatian
majikannya. Akibatnya, abdi dalem lebih suka mencari muka atau
berperilaku oportunis. Dalam kalangan elit kerajaan, raja lebih suka
disanjung, dihorrnati, dihargai dan tidak suka menerima kritik dan
saran. Kritik dan saran yang disarnpaikan di muka umum lebih dipandang
sebagai tantangan atau perlawanan terhadap kekuasaannya. Oleh karena
itu budaya kekuasaan di Nusantara (khususnya Jawa) cenderung otoriter.
Daiam aspek ekonomi, raja dan lingkaran kaum bangsawan mendominasi
sumber-sumber ekonomi di masyarakat. Rakyat umumnya “dibiarkan” miskin,
tertindas, tunduk dan harus menuruti apa kata, kemauan atau kehendak
“penguasa”.
Budaya yang sangat tertutup dan penuh
“keculasan” itu turut menyuburkan “budaya korupsi” di Nusantara. Tidak
jarang abdi dalem juga melakukan “korup” dalam mengambil “upeti”
(pajak) dari rakyat yang akan diserahkan kepada Demang (Lurah)
selanjutnya oleh Demang akan diserahkan kepada Turnenggung. Abdidalem
di Katemenggungan setingkat kabupaten atau propinsi juga mengkorup
(walaupun sedikit) harta yang akan diserahkan kepada Raja atau Sultan.
Alasan mereka dapat mengkorup, karena
satuan hitung belum ada yang standar, di samping rincian barang-barang
yang pantas dikenai pajak juga masih kabur. Sebagai contoh, upeti
dikenakan untuk hasil-hasil pertanian seperti Kelapa, Padi, dn Kopi.
Namun ukuran dan standar upeti di beberapa daerah juga berbeda-beda baik
satuan barang, volume dan beratnya, apalagi harganya. Beberapa alasan
itulah yang mendorong atau menye-babkan para pengumpul pajak cenderung
berperilaku “memaksa” rakyat kecil, di pihak lain menambah “beban”
kewajiban rakyat terhadap jenis atau volume komoditi yang harus
diserahkan.
Kebiasaan mengambil “upeti” dari rakyat
kecil yang dilakukan oleh Raja Jawa ditiru oleh Belanda ketika
menguasai Nusantara (1800 – 1942) minus Zaman Inggris (1811 – 1816),
Akibat kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat
terhadap Belanda. Sebut saja misalnya perlawanan Diponegoro (1825
-1830), Imam Bonjol (1821 – 1837), Aceh (1873 – 1904) dan lain-lain.
Namun, yang lebih menyedihkan lagi yaitu penindasan atas penduduk
pribumi (rakyat Indonesia yang terjajah) juga dilakukan oleh bangsa
Indonesia sendiri. Sebut saja misalnya kasus penyelewengan pada
pelaksanaan Sistem “Cuituur Stelsel (CS)” yang secara harfiah berarti
Sistem Pembudayaan. Walaupun tujuan utama sistem itu adalah
membudayakan tanaman produktif di masyarakat agar hasilnya mampu untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberi kontribusi ke kas
Belanda, namun kenyataannya justru sangat memprihatinkan.
Isi peraturan (teori atau bunyi hukumnya)
dalam CS sebenarnya sangat “manusiawi” dan sangat “beradab”, namun
pelaksanaan atau praktiknyalah yang sangat tidak manusiawi, mirip Dwang
Stelsel (DS), yang artinya “Sistem Pemaksaan”. Itu sebabnya mengapa
sebagian besar pengajar, guru atau dosen sejarah di Indonesia mengganti
sebutan CS menjadi DS. mengganti ungkapan “Sistem Pembudayaan” menjadi
“Tanam Paksa”.
Seperti apakah bentuk-bentuk pelang-garan CS tersebut? Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Penduduk diwajibkan menanam 1/5 dari
tanah miliknya dengan tanaman yang laku dijual di pasar internasional
(Kopi, Tembakau, Cengkeh, Kina, Tebu dan boleh juga Padi, bukan seperti
sebelumnya yang lebih suka ditanam penduduk yaitu pete, jengkol,
sayur-sayuran, padi dan lain-lain). Namun praktiknya ada yang dipaksa
oleh “Belanda Item” (orang Indonesia yang bekerja untuk Belanda) menjdi
2/5, 4/5 dan ada yang seluruh lahan ditanami dengan tanaman kesukaan
Belanda.
2. Tanah yang ditanami tersebut (1/5) tidak dipungut pajak, namun dalam praktiknya penduduk tetap diwajibkan membayar (meskipun yang sering meng-korup belum tentu Belanda)
3. Penduduk yang tidak rnempunyai tanah diwajibkan bekerja di perkebunan atau perusahaan Belanda selama umur padi (3,5 bulan). Namun, praktiknya ada yang sampai 1 tahun, 5 tahun, 10 tahun dan bahkan ada yang sampai mati. Jika ada yang tertangkap karena berani melarikan diri maka akan mendapat hukuman cambuk (poenali sanksi).
4. Jika panen gagal akibat bencana alam (banjir, tanah longsor, gempa bumi) maka segala kerugian akan ditanggung pemerintah. Namun praktik di lapangan, penduduk tetap menanggung beban itu yang diperhitungkan pada tahun berikutnya.
5. Jika terjadi kelebihan hasil produksi (over product) dan melebihi kuota, maka kelebihannya akan dikembalikan kepada penduduk. Namun praktiknya dimakan oleh “Belanda Item” atau para pengumpul.
6. Pelaksanaan CS akan diawasi langsung oleh Belanda. Namun pelaksanaannya justru lebih banyak dilakukan oleh “Belanda Item” yang karakternya kadang-kadang jauh lebih kejam, bengis dan tidak
mengenal kornpromi.
2. Tanah yang ditanami tersebut (1/5) tidak dipungut pajak, namun dalam praktiknya penduduk tetap diwajibkan membayar (meskipun yang sering meng-korup belum tentu Belanda)
3. Penduduk yang tidak rnempunyai tanah diwajibkan bekerja di perkebunan atau perusahaan Belanda selama umur padi (3,5 bulan). Namun, praktiknya ada yang sampai 1 tahun, 5 tahun, 10 tahun dan bahkan ada yang sampai mati. Jika ada yang tertangkap karena berani melarikan diri maka akan mendapat hukuman cambuk (poenali sanksi).
4. Jika panen gagal akibat bencana alam (banjir, tanah longsor, gempa bumi) maka segala kerugian akan ditanggung pemerintah. Namun praktik di lapangan, penduduk tetap menanggung beban itu yang diperhitungkan pada tahun berikutnya.
5. Jika terjadi kelebihan hasil produksi (over product) dan melebihi kuota, maka kelebihannya akan dikembalikan kepada penduduk. Namun praktiknya dimakan oleh “Belanda Item” atau para pengumpul.
6. Pelaksanaan CS akan diawasi langsung oleh Belanda. Namun pelaksanaannya justru lebih banyak dilakukan oleh “Belanda Item” yang karakternya kadang-kadang jauh lebih kejam, bengis dan tidak
mengenal kornpromi.
-Era Pasca Kemerdekaan
Bagaimana sejarah “budaya korupsi”
khususnya bisa dijelaskan? Sebenarnya “Budaya korupsi” yang sudah
mendarah daging sejak awal sejarah Indonesia dimulai seperti telah
diuraikan di muka, rupanya kambuh lagi di Era Pasca Kemerdekaan
Indonesia, baik di Era Orde Lama maupun di Era Orde Baru.
Titik tekan dalam persoalan korupsi
sebenarnya adalah masyarakat masih belum melihat kesungguhan pemerintah
dalam upaya memberantas korupsi. Ibarat penyakit, sebenarnya sudah
ditemukan penyebabnya, namun obat mujarab untuk penyembuhan belum bisa
ditemukan.
Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno,
tercatat sudah dua kali dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi – Paran
dan Operasi Budhi – namun ternyata pemerintah pada waktu itu setengah
hati menjalankannya. Paran, singkatan dari Panitia Retooling Aparatur
Negara dibentuk berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh
Abdul Haris Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M
Yamin dan Roeslan Abdulgani.
Salah satu tugas Paran saat itu adalah
agar para pejabat pemerintah diharuskan mengisi formulir yang
disediakan – istilah sekarang : daftar kekayaan pejabat negara. Dalam
perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut
mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir
itu tidak diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden.
Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock
karena kebanyakan pejabat berlindung di balik Presiden. Di sisi lain,
karena pergolakan di daerah-daerah sedang memanas sehingga tugas Paran
akhirnya diserahkan kembali kepada pemerintah (Kabinet Juanda).
Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No
275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi kembali digalakkan.
Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam/Kasab ditunjuk
kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugas mereka
lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan.
Lembaga ini di kemudian hah dikenal dengan
istilah “Operasi Budhi”. Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan
negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktik
korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan.
Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan
permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri,
sementara direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih belum
mendapat izin dari atasan.
Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi
Budhi dijalankan, keuangan negara dapat diselamatkan sebesar kurang
lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan untuk kurun waktu itu.
Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi
dihentikan. Menurut Soebandrio dalam suatu pertemuan di Bogor,
“prestise Presiden harus ditegakkan di atas semua kepentingan yang
lain”.
Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio
mengumurnkan pembubaran Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti
namanya menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di
mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio
dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi
pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.
-Era Orde Baru
Pada pidato kenegaraan di depan anggota
DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967, Pj Presiden Soeharto menyalahkan rezim
Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi sehingga segala
kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi
isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke
akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian
dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.
Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan
TPK dalam memberantas korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan
pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK.
Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen
Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang
korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan
mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat
beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti
Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka
yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV
Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya
“macan ompong” karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di
Pertamina tak direspon pemerintah.
Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai
Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) derigan tugas antara
lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme
di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul
perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan Nasution. Hal
itu menyangkut pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi,
Nasution berpendapat apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi,
harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada Laksamana
Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu,
Opstib pun hilang ditiup angin tanpa bekas sama sekali.
- Era Reformasi
Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya
“korupsi” lebih banyak dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka
pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah
terjangkit “Virus Korupsi” yang sangat ganas. Di era pemerintahan Orde
Baru, korupsi sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak terbantahkan.
Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan melakukan koreksi total
terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan DUD 1945 secara murni
dan konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-lama rnenjadi
Orde Lama juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan
secara murni, kecuali secara “konkesuen” alias “kelamaan”.
Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah
mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang
bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau
badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman, Presiden
berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).
Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa
Jaksa Agung Marzuki Darusman dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo,
Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk rnemberantas korupsi dari
anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK
akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam
upaya. pemberantasan KKN.
Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga
dianggap sebagian masyarakat tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang
dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi. Kegemaran beliau melakukan
pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan bahkan di
tempat-tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden,
melahirkan kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan proses
tawar-menawar tingkat tinggi.
Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi
yang melibatkan konglomerat Sofyan Wanandi dihentikan dengan Surat
Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung Marzuki
Darusman. Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate. Gus Dur lengser,
Mega pun menggantikannya melalui apa yang disebut sebagai kompromi
politik. Laksamana Sukardi sebagai Menneg BUMN tak luput dari
pembicaraan di masyarakat karena kebijaksanaannya menjual aset-aset
negara.
Di masa pemerintahan Megawati pula kita
rnelihat dengan kasat mata wibawa hukum semakin merosot, di mana yang
menonjol adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa mudahnya
konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat
ke luar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu
Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya Samadikun Hartono
dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas MSAA kepada
konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit
pemerintahan tidak serius dalam upaya memberantas korupsi, Masyarakat
menilai bahwa pemerintah masih memberi perlindungan kepada para
pengusaha besar yang nota bene memberi andil bagi kebangkrutan
perekonomian nasional. Pemerintah semakin lama semakin kehilangan
wibawa. Belakangan kasus-kasus korupsi merebak pula di sejumlah DPRD
era Reformasi.
Pelajaran apa yang bisa ditarik dari uraian ini? Ternyata upaya untuk memberantas korupsi tidak semudah memba-likkan tangan. Korupsi bukan hanya menghambat proses pembangunan negara ke arah yang lebih baik, yaitu peningkatan kesejahteraan serta pengentasan kemiskinan rakyat. Ketidakberdayaan hukum di hadapan orang kuat, ditambah minimnya komitmen dari elit pemerintahan rnenjadi faktor penyebab mengapa KKN masih tumbuh subur di Indonesia. Semua itu karena hukum tidak sama dengan keadilan, hukum datang dari otak manusia penguasa, sedangkan keadilan datang dari hati sanubari rakyat.
0 Comment:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Posting Komentar